Kemajuan
teknologi yang pesat mengakibatkan masa pakai elektronik yang digunakan selama
ini menjadi semakin pendek. Masa pakai perangkat elektronik yang semakin pendek
berdampak pada munculnya limbah elektronik atau yang dikenal sebagai electronic waste atau e-waste.
Berdasarkan
Basel Action Network, yang dimaksud dengan e-waste adalah semua
benda yang termasuk dalam berbagai macam perangkat elektronik dan
pengembangannya mulai dari peralatan elektronik rumah tangga seperti lemari es,
pendingin ruangan, ponsel, stereo system, dan perangkat elektronik
konsumtif lainnya, sampai komputer.
Menurut
Robinson dalam jurnalnya yang berjudul An
Assessment of Global Production and Environmental impacts, peningkatan
jumlah limbah elektronik tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi limbah
elektronik sudah menjadi permasalahan negara-negara maju. Komputer, telepon
genggam dan televisi akan memberikan kontribusi 5,5 juta ton ke E-waste streaming pada tahun 2010.
Di Afrika dan China, sampah elektronik berupa komputer
bekas, televisi, air conditioner (AC), mesin cuci, lemari
es, dan telepon genggam melonjak
menjadi 200% dan di India melambung hingga 500% pada tahun 2007. Sehingga pada
tahun 2020 diperkirakan jumlah limbah peralatan elektronik dan listrik yang
dihasilkan di dunia akan mencapai 12,3 juta ton per tahun. Pesatnya pertumbuhan
industri elektronik dan kartu ponsel saat ini disebabkan inovasi teknologi yang
dikembangkan ternyata bukan teknologi yang tahan lama, sehingga mendorong
konsumen untuk mengganti barang elektroniknya dengan yang baru dalam kurun
waktu yang lebih cepat.
Di negara maju
seperti Uni Eropa misalnya, Belanda dan Jerman setiap tahunnya jumlah sampah elektronik meningkat
sekitar 3-5% per tahun dari total jumlah sampah kota. Sehingga diprediksi jumlah sampah elektronik
semakin meningkat menjadi 9,8 juta ton pada tahun 2015
(Gaidajis, 2010).
Melihat
peningkatan jumlah sampah elektronik tersebut, berdasarkan undang-undang baru
yang dibuat Uni Eropa yang berlaku 14 Februairi 2014, tertulis bahwa
negara-negara penghasil sampah harus mendaur ulang setidaknya 45% dari sampah
elektronik per tahun. Hal ini dilakukan agar meminimalisir ekspor illegal
sampah elektronik tak terpakai ke negara lain.
Selama 10 tahun terakhir pengguna alat komunikasi telepon pintar meningkat pesat. Data dari
Kominfo
pada tahun 2016 menyebutkan jumlah
pengguna aktif telepon
genggam (Smartphone) mencapai 100 juta jiwa. Dengan jumlah
sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif telepon
genggam (Smartphone) terbesar ke
empat di dunia setelah China, India dan Amerika. Banyaknya pengguna
telepon genggam itu menyebabkan jumlah limbah kartu ponsel akan ikut
meningkat. Jika sampah kartu ponsel ini
tidak dicegah sejak
dini, maka akan jadi sebuah masalah baru dalam pengelolaan
limbah kartu ponsel
tersebut.
Chatterjee dan Kumar, (2009) mengatakan bahwa sampah elektronik biasanya disebut dengan limbah berbahaya
dikarenakan kandungannya terdiri dari Printed Circuit Board (PCB) dengan
presentase sebesar 3-5% dan sisanya sekitar 95-97% dari total sampah elektronik
mengandung logam mulia (seperti emas, perak, merkuri, dll). Walaupun kandungan
sampah elektronik berbahaya, banyak negara maju yang melakukan bisnis daur
ulang logam mulia karena harga jualnya yang sangat tinggi (emas, perak, dll).
Kandungan Limbah Kartu Ponsel
Hasil kajian Vidhate dkk menunjukkan
bahwa, dalam
limbah elektronik khususnya
kartu ponsel mengandung logam-logam seperti logam tembaga (Cu), emas (Au) dan
perak (Ag) serta
komponen berbahan plastik yang dapat didaur ulang. Sehingga kita bisa
mendapatkan keuntungan dari limbah yang seharusnya terbuang dan tidak dipergunakan
lagi. Kandungan emas (Au) yang
terkandung dalam satu set peralatan elektronik ternyata lebih tinggi
dibandingkan kandungan emas dalam bijihnya.
Emas adalah salah satu
komponen logam yang digunakan dalam peralatan elektronik karena memiliki sifat
tahan korosi dan konduktor listrik yang baik. Emas juga merupakan salah satu
logam mulia yang paling penting karena aplikasinya luas dalam industri dan
kegiatan ekonomi.
Contoh limbah
elektronik yang sangat dekat dengan kita seakan sepele namun, memiliki
nilai ekonomi tinggi adalah limbah
kartu ponsel atau yang sering kita sebut dengan sim card. Limbah jenis ini sangat mudah ditemui apalagi dengan harganya
yang murah. Mudah dan murahnya harga sebuah telepon genggam
mengakibatkan meningkatnya limbah
jenis kartu telepon (sim
card) yang dibuang
sembarangan oleh manusia. Umumnya pengguna mengganti kartu (sim
card) ketika paket datanya sudah habis. Jarang sekali yang melakukan
pengisian paket data internet kembali atau membeli pulsa dengan tidak mengganti
kartunya. Dengan alasan, lebih mahal mengisi pulsa untuk paket internet
daripada membeli kartu yang baru.
Tetapi, sebagian
dari pengguna bahkan banyak dari kita yang tidak mengetahui bahwa di dalam kartu ponsel (sim card)
yang kita gunakan sehari–hari mengandung emas dan jenis logam lainnya.
Karena tampak di mata tidak berharga lagi ketika paket datanya telah
habis dan kemudian membuangnya begitu saja. Padahal limbah tersebut dapat
dimanfaatkan dengan mengambil senyawa Au dan Ag yang terdapat di dalamnya
seperti
yang telah dilakukan oleh negara Jepang dan China.
Dengan dilakukan
pengambilan emas atau perak yang terdapat pada limbah ini, maka sangat bermanfaat
untuk mengurangi jumlah limbah elektronik yaitu, limbah kartu ponsel (sim
card). Hal ini, selain memberikan keuntungan bagi masyarakat yang mau
mengolahnya dari segi ekonomi, juga dapat bermanfaat bagi kesehatan masyarakat
serta menjaga kelestarian lingkungan sekitar.
Di Aceh, dengan jumlah penduduk yang setiap tahunnya
mengalami peningkatan baik penduduk asli maupun pendatang sangat membutuhkan
kartu ponsel (sim card) yang
fungsinya untuk mendapatkan akses internet ataupun hanya sebagai alat komunikasi
sperti Sms dan telepon. Dengan demikian meningkat juga jumlah
limbah dari kartu ponsel (sim card) ini
setiap harinya. Namun, sayangnya belum ada penanganan untuk limbah jenis
kartu ponsel (sim card) ini. Baik
dari pihak pemerintah ataupun lembaga yang berhubungan dengan penanganan
limbah. Dengan begitu, perlu bagi pengguna baik pemerintah, peneliti dan
akademisi untuk mengambil andil dalam penanganan limbah terebut. Selain karena
ingin mendapatkan keuntungan dari hasil pengolahan, penanganan tersebut juga secara
tidak langsung meminimalisir limbah yang
terdapat disekitar kita.
Metode Pengambilan Logam dari
limbah kartu ponsel (sim card)
Cara Pengambilan emas dari limbah elektronik yang biasa
digunakan adalah dengan metode seperti metode sianida dan metode almagamasi.
Namun kedua metode ini sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan
kelestarian lingkungan sekitar. Sehingga untuk mengatasi masalah ini ada
inovasi baru dalam pemisahan yang
lebih ramah lingkungan, murah
dan cepat dengan efisiensi pemisahan tinggi yaitu Alpha-siklodextrin (α-CD). Alpha-siklodextrin (α-CD) sendiri merupakan
senyawa turunan karbohidrat yang dapat dibuat dari jenis pati, baik pati
jagung, pati singkong, pati ubi jalar dan beberapa jenis pati lain dengan cara mengubah enzimatik
suatu jenis pati
tersebut. Alpha-siklodextrin
(α-CD juga
merupakan isolator emas yang ramah lingkungan.
Tahap
pemisahannya dilakukan dengan pemisahan antara emas yang menempel pada
perangkat elektronik yaitu menggunakan senyawa yang mudah bereaksi dengan emas
yaitu digunakan bromida. Kemudian perubahan enzimatik
dilakukan dengan menggunakan enzim sikloheksa-amilase
untuk memecah pati
dan mengubahnya menjadi gula yang bisa diproduksi oleh bakteri Bacilus Macerans atau nama lain dari bakteri gram
positif. Reaksi pecampuran alpha-siklodextrin
dengan larutan emas- bromida tadi
berlangsung cepat dan spontan membentuk endapan garam emas. Endapan garam
emas akan membentuk jarum. Dari
kombinasi antara α-siklodekstrin
dan kalium tetrabromoaurate (KauBr4) ternyata akan
terbentuk jarum dengan cepat. Kemudian
emas sisa dalam filtrat dapat didaur ulang dan α -CD dapat digunakan kembali
dengan rekristalisasi.
Diterbitkan di website flpbandaaceh.or.id
Komentar
Posting Komentar