Berawal dari hari itu, perjalananku yang sangat mengharukan ini dimulai, yang masih rahasia akan berakhir bagaimana. Aku sadar ini semua sudah digariskan Allah SWT yang harus aku jalani dengan ikhlas yang aku yakin pasti ada hikmah dibalik semua ini. Walau bibir dan hati kecilku selalu berkata, “Apakah ini semua hanya mimpi buruk atau justru ini merupakan awal dari kesuksesaanku?” Sedari kecil aku hidup dikeluarga yang sederhana bahkan bisa dikatakan kurang mampu. Aku mempunyai dua abang, satu orang kakak dan satu orang adik. Mereka semua adalah orang terdekatku yang harus aku bahagiakan. Ayah, Ibu, kedua orang tua ku inilah yang sangat berjasa membesarkanku dan mendidikku sampai sekarang ini. Sampai aku menjadi pribadi yang sabar, kuat, dan rela berkorban demi orang lain. Kehidupanku yang keras yang akhirnya membentuk karakterku seperti sekarang ini.
Sejak kecil aku dikenal sebagai anak yang periang, ramah, penyayang terhadap anak-anak dan selalu berusaha membuat orang lain nyaman bila berada didekatku. Siang itu, aku memberanikan diri untuk mengirim pesan singkat lewat handponeku kepada salah satu guru disekolahku, karena rasanya hati ini sudah tak tahan untuk menceritakan semua keinginanku. “Assalamualaikum Pak. Maaf Pak kalau saya mengganggu Bapak. Begini Pak, saya ingin sekali melanjutkan kuliah tetapi, orangtua saya sudah tidak mampu membiayai saya. Jadi bagaimana, apakah Bapak ada solusi?” Tidak lama setelah pesan dikirim Beliau langsung membalasnya. “Kalau memang kamu minat kuliah, besok jumpai saya, kita bicarakan semuanya di sekolah.” Kali ini aku benar-benar lega karena sudah menceritakan semuanya ke Beliau.
Pagi ini seperti biasa, aku berjalan kaki untuk berangkat ke sekolah. Aku lebih senang berjalan kaki ketimbang diantar oleh ayahku. Walau jarak dari rumahku untuk ke jalan raya memakan waktu sekitar 30 menit tetapi, aku tetap semangat menempuhnya. Udara pedesaan yang sangat sejuk ketika pagi selalu membangkitkan semangatku. Burung-burung mengeluarkan kicauan indahnya, langit tampak berseri-seri dengan warna birunya, matahari yang sangat indah dengan warna orangenya, yang semua itu aku tahu pasti ada penciptanya. Allah SWT menciptakan semua ini mempunyai maksud. Seperti Allah menciptakan manusia yaitu untuk menjadi khalifah dimuka bumi ini. Dari sebelum kita lahir kita sudah digariskan intuk menjadi seorang pemenang. Tinggal bagaimana saja kita menyikapi dan bertindak dalam hidup ini.
Setelah menyusuri jalan dengan semangat yang menggebu-gebu timbul pertanyaan,” apa ya kira-kira yang Allah rencanakan untuk hidupku?” Akankah hidupku akan sukses seperti perkataan seorang nenek beberapa waktu lalu ketika aku sedang naik angkot sewaktu sepulang sekolah. Perkataanya masih terasa jelas di pendengaranku. Sambil menatap langit yang indah ini aku berdoa kepada Allah, “ya Allah aku ingin sekali bisa melanjutkan kuliah seperi yang lain, agar bisa membahagiakan kedua orangtuaku, keluargaku dan orang-orang disekitarku. Aku ingin bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Tetapi akankah semua itu akan terwujud dengan kondisi ekonomi keluargaku saat ini?” Setelah mengadu kepada Allah hati ini terasa tenang.”
Setelah selesai upacara bendera seperti biasa Pak Idan selalu masuk kelas tanpa mengucapkan salam sehingga membuat kami semua selalu terkejud dengan kedatangannya. Bagiku beliau adalah guru yang pintar dalam bidangnya yaitu, biologi. Walaupun beliau juga lulusan teknik kimia. Pagi ini beliau mulai pelajaran tanpa membahas tentang pesan singkatku yang ku kirim kemarin. Setelah satu jam belajar barulah iya membahasnya. “Siapa saja dikelas ini yang berminat untuk melanjut ke perkuliahan?”. (Hampir seisi kelas tunjuk tangan). Begini, jika kalian ingin melanjut kuliah, sekarang pemerintah memudahkan kalian untuk kuliah, dengan membiayai seluruh administrasi mulai dari uang kuliah juga biaya kehidapan. Beasiswa ini diperuntukkan bagi anak-anak yang kurang mampu dan berprestasi. Jadi Bapak berharap kalian bisa melanjutkan kuliah dengan beasiswa ini.”Jangan pernah sia-siakan kesempatan, selagi kesempatan itu ada di depan mata”. (Bel berbunyi, pelajaran biologipun telah selesai). “Bagi siapa-siapa saja yang berminat kuliah, istirahat ini jumpai saya dirung guru.”
Seminggu berlalu, Pak Idan kembali memanggil kami untuk memastikan siapa-siapa saja yang ikut SNMPTN. Tetapi, aku dan tiga teman lainnya diberikan dua pilihan, yang pertama tinggalkan SNMPTN dan pilih Polmed yang kedua sebaliknya. Sungguh ini keputusan yang sulit untuk diambil tetapi beliau bisa menyakinkan kami untuk lebih memilih Polmed. Sehingga kami berempat sepakat untuk lebih memilih Polmed. Seminggu ini aku dan teman-temanku sibuk menyiapkan berkas ini itu, hingga tiba dihari terakhir pendaftaran SNMPTN Agus datang menemuiku dengan membawa sebuah buku tulis yang isinya adalah daftar nama teman-temanku yang lain yang mendaftar SNMPTN.
“Apa maksudnya ini Gus?” “Pak Idan nyuruh kita buat isi ini juga!”
“Serius?”
“iya, liat aja, aku melisa dan ayu udah isi.”
(jleb, apa-apaan ini maksudnya?) Kenapa dia suka kali buat kita lontang-lantung gini sih Gus?” Aku juga gak tau Hel.” Yaudah buruan isi, Bu Risma udah nunggu dari tadi tu!”
“Terus aku mesti isi apa?” jujur aku gak tau Universitas apa yang bagus.”
“ Udah pilih aja asal-asal, toh kitakan masih ada Polmed.”
“Terus Agus pilih apa?”
“Aku pilih ekonomi Unimed.”
“Tanpa berpikir lama aku langsung menuliskan teknik kimia Unsyiah dipilihan pertama dan Pend. Biologi dipilihan kedua kemudian Pend.Kimia Unimed dipilihan ketiga dan Pend.Biologi dipilihan keempat.
Kemudian Agus pun pergi menuju ruang tata usaha untuk menyerahkan buku itu. Setelah dia pergi aku baru sadar kalau aku sudah salah memilih, jika seandainya aku benar-benar lulus di Unsri yang letaknya di Palembang, gimana? Jangankan untuk pergi kesana, sanak keluargapun tidak ada disana.
“Ya Allah apa yang telah aku lakukan? “ kenapa aku tidak berpikir sampai sejauh ini?” Kali ini semua kuserahkan kepada Allah SWT, jika memang ini jalan yang terbaik untukku izinkan aku untuk melanjutkan sekolahku. Sejak hari ini, rasa cemas selalu menghantuiku, disatu sisi aku ingin lulus karena jika lulus artinya aku bisa melanjut kuliah, disisi lain aku juga tidak ingin lulus karena harus pergi kesana dengan biaya yang belum tentu ada. Disetiap doa dalam shalatku, aku selalu berdoa, ya Allah berikan jalan yang terbaik untukku, jalan yang Engkau ridhai. Mudahkanlah segala urusanku, lembutkanlah hati orang-orang yang berurusan denganku.
Seperti biasa setelah selesai sholat, Via dan Najwan selalu datang kerumah untuk belajar mengaji dan pelajaran disekolah. Aku yang notabenenya suka dengan anak-anak sangat senang dengan hadirnya mereka, walau bayarannya tidak seberapa namun, bukan itu yang aku cari. Sesungguhnya aku hanya ingin menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Alhamdulillah mereka berdua merupakan anak-anak yang juara di kelasnya. Sehingga Ibu mereka tidak hentinya memuji-mujiku, karena telah mengajari anaknya sampai anaknya menjadi juara disekolahnya, Alhamdulillah ternyata waktu yang kuluangkan buat mereka sangat bermanfaat. Jadi teringat perkataan Pak Gofar guru Sejarahku di sekolah, yang pernah menceritakan kisahnya sewaktu menjadi mahasiswa dulu. Beliau juga dulu slalu membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun. Yang apabila kita ikhlas membantu siapapun tanpa mengharapkan imbalan maka Allah akan menggantikannya jauh dari apa yang telah kita lakukan.
“Kini semuanya hanya Allah yang tau apa yang terbaik untukku. Kini satu kecemasanku sudah terjawab, Alhamdulillah aku lulus Ujian Nasional. Sisa satu kecemasan lagi yaitu pengumuman SNMPTN. Setelah selesai sholat aku dapat kabar kalau SNMPTN telah diumumkan. Rasanya hati ini berdebar sekaligus tidak sabar untuk melihat hasilnya. Begitu gemetarnya aku ketika hasil yang keluar menyatakan “Selamat Anda dinyatakan lulus di Unsyiah jurusan teknik kimia”. Spontan air mata ini tidak tertahankan lagi dan jatuh membasahi pipiku. Saat ini aku susah membedakan ini air mata kebahagiaan atau air mata kekecewaan. Seandainya aku diposisi orang yang sangat menginginkan kelulusan ini pasti aku menyambutnya dengan bahagia. Tapi, ini justru sebaliknya, biayalah sekarang yang ada dipikiranku. Darimana aku akan mendapatkan biaya itu?” Apakah orang tuaku akan mengizinkan aku untuk kuliah disana. Air mata ini tetap saja menetes begitu derasnya seakan hujan yang deras turun dari langit. Satu beban hadir dipikiranku, aku bingung untuk menjelaskan kepada orang tuaku bahwa aku harus mengambil kesempatan ini, Kepala ini terasa ingin meledak karena tidak sanggup memikirkannya. Kuraih handpone milikku dan segera aku meminta pendapat Agus sahabatku.
“Gus, gimana ni?”
“Ada apa Hel?”
“Oiya lulus Hel?”
“Itu masalahnya Gus, aku lulus!”
“Alhamdulillah lulus dimana Hel?”
“Teknik kimia Unsri Gus.”
“Bagus dong!”
“Itu dia masalahnya, aku gak tau orang tuaku bakalan kasih aku kuliah disana atau nggak.”
“Lho kok gitu??” Bukannya seharusnya senang??”
“Kalau dibilang senang, aku yakin jauh dilubuk hati orang tuaku pasti mereka senang dan bangga denganku tetapi, disisi lain mereka tidak punya biaya buat aku kuliah disana”.
“Kan Bidikmisi!!”
“Iya aku tau, tapi biaya pertama pasti dari kita juga kan?”Aku cukup tau ekonomi keluargaku gimana gus.”
“Ya uadah yakinkan aja orang tuamu Hel. “Jika orang tuamu ridha pasti Allah juga ridha dengan memudahkan segala urusannya.”
“Iya amiiinnn. “Makasih ya Gus sarannya.”
“Iya sama-sama Hel. “Agus lulus?”
“Tidak Hel, mungkin bukan rezekiku!”
“Sabar ya Gus, mungkin rezekimu di Polmed.”
“Amiiin, mudah-mudahan aja ya Hel.”
Ternyata yang lulus dari sekolahku hanya lima orang, tiga diantaranya lulus dengan bidikmisi dan dua lagi regular. Dengan kabar ini aku semakin yakin kalau ini adalah rezeki dari Allah yang harus aku ambil. Karena banyak orang yang menginginkan lulus tapi ternyata tidak lulus seperti Aisyah sahabatku, padahal dia selalu rangking satu sampai kelas XII. Mungkin ini belum rezekinya. keesokan harinya ku telfon orang tuaku, karena aku sudah tidak tinggal dengan meraka, mereka sudah pindah ke Medan dan aku sekarang ngekos dirumah sahabatku Yuni. Kebetulan hari ini semua abang-abangku pada ngumpul dirumah. Orang pertama yang ku dengar suaranya adalah Ibuku.
“Bu, aku lulus di Unsyiah Banda Aceh.”
“Lho, kok disana? “Bukannya kemaren bilang coba di Medan?”
“Iya, di Medan juga tapi, lulusnya disana Bu.”
“Jadi gimana tu Hel? “Ibu si setuju-setuju aja Rahel kuliah disana, tapi Rahel kan tau sendiri ekonomi keluarga kita gimana. Jangankan untuk biaya kuliah, untuk makan saja sulit. “Kalau Ibu bisa kerja, sudah pasti Ibu izinkan Rahel kuliah disana tapi kan yang mencari uang bukan Ibu.” Coba Tanya abang-abangmu, apakah mereka mau membantu?”
Mendengar perkataan Ibu barusan, rasanya hati ini hancur-sehancurnya, air mata ini tak berhenti menetes. “Kenapa aku yang justru benar-benar ingin sekolah dan menuntut ilmu sulit untuk melakukannya, sementara orang diluar sana banyak yang menghabiskan uangnya untuk hal-hal yang tidak penting.” Apakah ini cobaan anak orang tidak mampu untuk meraih kesuksesannya?” Sungguh berat jalan yang harus ku tempuh ya Allah. Air mata ini terus saja mengguyur pipiku yang tirus ini. Keesokan harinya aku pulang ke Medan untuk membicarakan semuanya secara langsung dengan keluargaku, Ibu menanyakan kembali keputusannku.
“Benar kamu jadi memilih kuliah di Unsyiah ketimbang di Polmed?”
“Bukan begitu Bu, kata guru Rahel di sekolah, Polmed belum menjamin kami lulus atau tidak, kalau memang sudah ada yang jelas didepan mata kenapa tidak diambil?” Dan setelah Rahel pikir-pikir ada benarnya yang dikatakan oleh Beliau, Begini bu, kalaulah seandainya Rahel lepaskan SNMPTN ini lalu menunggu hasil dari Polmed dan jika yang keluar Rahel tidak lulus gimana?” Berati Rahel sudah mengambil keputusan yang salah bukan?”Rahel tidak ingin menyesal seperti Bang Dicky bu, yang rela mengorbankan kesuksesannya demi membiayai kami.” Rahel juga ingin bisa mengangkat derajat Ayah dan Ibu. Agar orang-orang tidak ada yang bisa meremeh dan merendahkan kita lagi bu. Sudah cukup kepedihan yang telah kita jalani selama ini. Sekarang ridhai Rahel buat merubah nasib keluarga kita. Tanpa kusadari perkataanku tadi telah membuat Ibuku menangis, sungguh kali ini tekatku sudah bulat aku sangat ingin membahagiakan keluargaku terutama Ayah dan Ibuku yang telah membesarkan aku sampai sekarang ini. Bisa membelikan rumah impian Ibuku dan mengajak Ia jalan-jalan keluar negeri seperti impiannya.
Aku tak pernah hentinya melakukan qiyamulail setiap sepertiga malam, hanya Allah yang bisa membantuku saat ini. Kuceritakan seluruh keluh kesahku kepadaNya. Alhamdulillah, Allah memberikan jalan untukku melalui abang kandungku, Dialah yang membiayai aku untuk berangkat ke sana dan ikut mengantarkanku pergi kesana. Betapa senangnya hati ini, akhirnya pintu kesuksessan itu terbuka untukku. Hari pendaftaran ulangpun semakin dekat, dan lagi-lagi Allah memberikan pertolongan untukku dengan mengirimkan Kak Rizka sebagai orang yang akan menolongku di Banda Aceh. Kak Rizka ini adalah sahabat dari sepupuku bang Ari. Sabtu malam kami berangkat ke Banda Aceh, Ibuku yang tidak rela melihat kepergianku, kini Ia hanya bisa bersembunyi dikamar kecilnya.
“Bu, aku pergi dulu ya.”
“Iya , baik-baik ya disana, jaga diri baik-baik. “Ibu akan selalu mendoakanmu.”
“Rasanya hati ini seperti bom atom yang ingin meledak setelah mendengar perkataan Ibu tadi. Air matapun tidak sanggup menahan kepedihan ini, begitu besar beban yang harus kupikul sehingga aku bisa menjadi seorang yang pantas dibanggakan dan bisa membahagiakan kedua orang tuaku yang semasa hidupnya tidak pernah merasakan hidup senang. Lagi-lagi air mata ini jatuh dan aku berusahsa untuk menahannya agar Ibu tidak semakin sedih dengan keputusanku untuk kuliah disana. Sepanjang perjalanan air mata ini tidak berhenti menetes. Hanya Allahlah yang tau perasaanku saat ini.
Ternyata orang yang kutanyai selama ini adalah seorang yang cantik, tidak hanya cantik parasnya tetapi juga cantik akhlaknya. Disetiap jadwal-jadwalku ke kampus kak Rizka lah yang selalu mengantarkanku. Betapa mulianya hati Kak Rizka ini, semoga Allah senantiasa melindungi dan memudahkan segala urusannya serta melapangkan rezekinya, amiinn. Hari pertama kuliah rasanya terasa asing, gimana tidak, aku harus menyesuaikan diri untuk hidup disini. Setelah beberapa minggu kuliah, setelah uang persediaanku mulai menipis timbul rasa sedih di hati ini. Ditambah lagi aku belum bisa membayar uang kost, untung saja Bapak kost ku orang baik, Dia mengizinkan aku tinggal ditempatnya walaupun aku belum bisa membayarnya. Semakin hari hidup ini terasa semakin sulit. Belum masalah pelajaran yang munurutku susah ditambah aku harus memikirkan dari mana aku bisa mendapatkan uang sampai uang bidikmisiku keluar. Kakakku sudah berusaha membantu tapi tetap saja kurang, kini aku hanya punya Allah yang bisa membantuku saat ini. Beberapa bulan kemudian karena uang bidikmisiku belum juga keluar abangku yang selama ini membiayaiku mulai cemas. Sampai-sampai Dia tega mengatakan ini padaku
“Dek, kalau sampai bulan besok uang beasiswa adik tidak keluar adik harus pulang ya ke Medan, gak usah kuliah lagi.”
“Hatiku tersentak dan bibir ini tidak bisa bicara sedikitpun, rasanya ini tidak adil, apa coba maksudnya?” Mana mungkin aku bisa pulang begitu aja dengan semua yang udah aku lakuin disini.
Dari telfon terdengar suara Ibuku menyahut, “Apa-apan kau ini But, adiknya lagi kesusahan malah ngomong yang nggak-nggak, kasihanlah dia disana, udah susah malah kau tambah susah pulak dengan kau suruh pulang.”
“Mana bisa segampang itu untuk nyuruh pulang adikmu, memangnya kalau pulang gak pakai biaya?” bukannya dicarikan solusi, malah yang aneh-aneh. “Ya Allah betapa sedihnya aku kali ini, justru ini lebih sedih dari sebulum-sebelumnya. Aku yang udah berusaha sejauh ini, masak hn berhenti darus pulang gitu aja.
“Mbak, (terdengar suara ibu memanggil) memangnya kapan katanya uangnya keluar?“
“Katanya masih dalam proses Bu.”
“Ibu jangan berhenti doain aku terus ya.” (Karna tidak sanggup menahan tangis aku cepat-cepat memutuskan telfon dari Ibu). Malam ini rasanya aku ingin saja pulang, aku tidak ingin berada disini lagi terasa begitu berat beban yang harus kupikul. Tinggal dikampung orang tanpa ada siapa-siapa dan tidak ada uang sama sekali, orang tua gak bisa bantu sementara aku harus penuhi semua kebutuhan disini. Hari-hari yang kulalui disini semuanya tersa mimpi, mimpi yang sebenarnya nyata. Rasanya ingin sekali bangun dari mimpi buruk ini. Kalau bukan karena aku ingin sekolah, sudah pasti aku menyerah dari dulu. Tapi syukur saja aku masih punya majelis disini yang orang-orang didalamnya begitu baik akhlak-akhlaknya. Ku kirim pesan singkat ke Kak Mely. Iya, kak Mely adalah orang yang benar-benar aku kagumi, selain pintar dan cantik Kak Mely juga sangat baik.
“ Kak, besok malam Rahel boleh gak tidur dirumah kakak?” Ada yang mau Rahel certain sama kakak. Rahel gak tau harus cerita ke siapa lagi.”
“Oh, boleh Hel, besok malam kakak jemput ya?”
“Iya kak, makasih ya kak.”
Pagi ini, setelah sholat subuh berjama’ah aku dan Kak Mely sama-sama membaca Al-quran.
“Rahel mau cerita apa sama kakak?” ayola cerita, kakak siap dengerin.”
“Aku bingung harus mulai dari mana dulu, akhirnya aku jelasin semuanya tentang kenapa aku bisa kuliah disini dan apa yang tengah aku alami sekarang. Tentang yang aku yang disuruh pulang kalau sampai beasiswa itu tidak keluar juga bulan depan. Akhirnya Kak Mely mengatakan “Bilang sama abangnya Rahel, kalau Rahel gak bisa pulang, karena Rahel harus melanjutkan kuliah disini. Masalah biaya, biar untuk sementara sebelum uang beasiswa Rahel keluar kakak yang tanggung.”
“Udah ya Rahel jangan nangis lagi”. Tanpa disengaja aku sudah menangis aja di depan kak Mely. Alhamdulillah Kak Mely bisa menenangkan aku dan siap memberi bantuan jika aku membutuhkan bantuannya. Ternyata Allah selalu memberikan pertolongan melalu orang-orang yang diutusnya untuk orang-orang yang sabar dan tulus seperti aku. Alhamdulillah, sedikit demi sedikit beban ku kini telah berkurang. Maksih banyak ya Allah dan makasih buat ibu, ayah dan keluarga ku. Makasih buat Kak Mely yang telah mau membantu. Kini aku bisa fokus untuk kuliah saja dan siap meraih cita-cita yang sudah menanti didepan sana. Empat tahun sudah, kini aku sudah menyandang gelar Sarjana dibelakang namaku Rahel Arletta, S.T. Walau aku tidak lulus dengan kategori cumloude tetapi setidaknya aku bisa menyelesaikan study ku tepat empat tahun seperti jatah yang aku terima dari beasiswa bidikmisi. Ini semua berkat orang-orang hebat yang ada dibelakangku yang tiada henti-hentinya mendoakan aku sampai aku menjadi orang seperti saat sekarang ini. Kini targetku kedepannya adalah menunaikan impian Ibuku untuk membangunkan rumah impian untuknya.
Sejak kecil aku dikenal sebagai anak yang periang, ramah, penyayang terhadap anak-anak dan selalu berusaha membuat orang lain nyaman bila berada didekatku. Siang itu, aku memberanikan diri untuk mengirim pesan singkat lewat handponeku kepada salah satu guru disekolahku, karena rasanya hati ini sudah tak tahan untuk menceritakan semua keinginanku. “Assalamualaikum Pak. Maaf Pak kalau saya mengganggu Bapak. Begini Pak, saya ingin sekali melanjutkan kuliah tetapi, orangtua saya sudah tidak mampu membiayai saya. Jadi bagaimana, apakah Bapak ada solusi?” Tidak lama setelah pesan dikirim Beliau langsung membalasnya. “Kalau memang kamu minat kuliah, besok jumpai saya, kita bicarakan semuanya di sekolah.” Kali ini aku benar-benar lega karena sudah menceritakan semuanya ke Beliau.
Pagi ini seperti biasa, aku berjalan kaki untuk berangkat ke sekolah. Aku lebih senang berjalan kaki ketimbang diantar oleh ayahku. Walau jarak dari rumahku untuk ke jalan raya memakan waktu sekitar 30 menit tetapi, aku tetap semangat menempuhnya. Udara pedesaan yang sangat sejuk ketika pagi selalu membangkitkan semangatku. Burung-burung mengeluarkan kicauan indahnya, langit tampak berseri-seri dengan warna birunya, matahari yang sangat indah dengan warna orangenya, yang semua itu aku tahu pasti ada penciptanya. Allah SWT menciptakan semua ini mempunyai maksud. Seperti Allah menciptakan manusia yaitu untuk menjadi khalifah dimuka bumi ini. Dari sebelum kita lahir kita sudah digariskan intuk menjadi seorang pemenang. Tinggal bagaimana saja kita menyikapi dan bertindak dalam hidup ini.
Setelah menyusuri jalan dengan semangat yang menggebu-gebu timbul pertanyaan,” apa ya kira-kira yang Allah rencanakan untuk hidupku?” Akankah hidupku akan sukses seperti perkataan seorang nenek beberapa waktu lalu ketika aku sedang naik angkot sewaktu sepulang sekolah. Perkataanya masih terasa jelas di pendengaranku. Sambil menatap langit yang indah ini aku berdoa kepada Allah, “ya Allah aku ingin sekali bisa melanjutkan kuliah seperi yang lain, agar bisa membahagiakan kedua orangtuaku, keluargaku dan orang-orang disekitarku. Aku ingin bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Tetapi akankah semua itu akan terwujud dengan kondisi ekonomi keluargaku saat ini?” Setelah mengadu kepada Allah hati ini terasa tenang.”
Setelah selesai upacara bendera seperti biasa Pak Idan selalu masuk kelas tanpa mengucapkan salam sehingga membuat kami semua selalu terkejud dengan kedatangannya. Bagiku beliau adalah guru yang pintar dalam bidangnya yaitu, biologi. Walaupun beliau juga lulusan teknik kimia. Pagi ini beliau mulai pelajaran tanpa membahas tentang pesan singkatku yang ku kirim kemarin. Setelah satu jam belajar barulah iya membahasnya. “Siapa saja dikelas ini yang berminat untuk melanjut ke perkuliahan?”. (Hampir seisi kelas tunjuk tangan). Begini, jika kalian ingin melanjut kuliah, sekarang pemerintah memudahkan kalian untuk kuliah, dengan membiayai seluruh administrasi mulai dari uang kuliah juga biaya kehidapan. Beasiswa ini diperuntukkan bagi anak-anak yang kurang mampu dan berprestasi. Jadi Bapak berharap kalian bisa melanjutkan kuliah dengan beasiswa ini.”Jangan pernah sia-siakan kesempatan, selagi kesempatan itu ada di depan mata”. (Bel berbunyi, pelajaran biologipun telah selesai). “Bagi siapa-siapa saja yang berminat kuliah, istirahat ini jumpai saya dirung guru.”
Seminggu berlalu, Pak Idan kembali memanggil kami untuk memastikan siapa-siapa saja yang ikut SNMPTN. Tetapi, aku dan tiga teman lainnya diberikan dua pilihan, yang pertama tinggalkan SNMPTN dan pilih Polmed yang kedua sebaliknya. Sungguh ini keputusan yang sulit untuk diambil tetapi beliau bisa menyakinkan kami untuk lebih memilih Polmed. Sehingga kami berempat sepakat untuk lebih memilih Polmed. Seminggu ini aku dan teman-temanku sibuk menyiapkan berkas ini itu, hingga tiba dihari terakhir pendaftaran SNMPTN Agus datang menemuiku dengan membawa sebuah buku tulis yang isinya adalah daftar nama teman-temanku yang lain yang mendaftar SNMPTN.
“Apa maksudnya ini Gus?” “Pak Idan nyuruh kita buat isi ini juga!”
“Serius?”
“iya, liat aja, aku melisa dan ayu udah isi.”
(jleb, apa-apaan ini maksudnya?) Kenapa dia suka kali buat kita lontang-lantung gini sih Gus?” Aku juga gak tau Hel.” Yaudah buruan isi, Bu Risma udah nunggu dari tadi tu!”
“Terus aku mesti isi apa?” jujur aku gak tau Universitas apa yang bagus.”
“ Udah pilih aja asal-asal, toh kitakan masih ada Polmed.”
“Terus Agus pilih apa?”
“Aku pilih ekonomi Unimed.”
“Tanpa berpikir lama aku langsung menuliskan teknik kimia Unsyiah dipilihan pertama dan Pend. Biologi dipilihan kedua kemudian Pend.Kimia Unimed dipilihan ketiga dan Pend.Biologi dipilihan keempat.
Kemudian Agus pun pergi menuju ruang tata usaha untuk menyerahkan buku itu. Setelah dia pergi aku baru sadar kalau aku sudah salah memilih, jika seandainya aku benar-benar lulus di Unsri yang letaknya di Palembang, gimana? Jangankan untuk pergi kesana, sanak keluargapun tidak ada disana.
“Ya Allah apa yang telah aku lakukan? “ kenapa aku tidak berpikir sampai sejauh ini?” Kali ini semua kuserahkan kepada Allah SWT, jika memang ini jalan yang terbaik untukku izinkan aku untuk melanjutkan sekolahku. Sejak hari ini, rasa cemas selalu menghantuiku, disatu sisi aku ingin lulus karena jika lulus artinya aku bisa melanjut kuliah, disisi lain aku juga tidak ingin lulus karena harus pergi kesana dengan biaya yang belum tentu ada. Disetiap doa dalam shalatku, aku selalu berdoa, ya Allah berikan jalan yang terbaik untukku, jalan yang Engkau ridhai. Mudahkanlah segala urusanku, lembutkanlah hati orang-orang yang berurusan denganku.
Seperti biasa setelah selesai sholat, Via dan Najwan selalu datang kerumah untuk belajar mengaji dan pelajaran disekolah. Aku yang notabenenya suka dengan anak-anak sangat senang dengan hadirnya mereka, walau bayarannya tidak seberapa namun, bukan itu yang aku cari. Sesungguhnya aku hanya ingin menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Alhamdulillah mereka berdua merupakan anak-anak yang juara di kelasnya. Sehingga Ibu mereka tidak hentinya memuji-mujiku, karena telah mengajari anaknya sampai anaknya menjadi juara disekolahnya, Alhamdulillah ternyata waktu yang kuluangkan buat mereka sangat bermanfaat. Jadi teringat perkataan Pak Gofar guru Sejarahku di sekolah, yang pernah menceritakan kisahnya sewaktu menjadi mahasiswa dulu. Beliau juga dulu slalu membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun. Yang apabila kita ikhlas membantu siapapun tanpa mengharapkan imbalan maka Allah akan menggantikannya jauh dari apa yang telah kita lakukan.
“Kini semuanya hanya Allah yang tau apa yang terbaik untukku. Kini satu kecemasanku sudah terjawab, Alhamdulillah aku lulus Ujian Nasional. Sisa satu kecemasan lagi yaitu pengumuman SNMPTN. Setelah selesai sholat aku dapat kabar kalau SNMPTN telah diumumkan. Rasanya hati ini berdebar sekaligus tidak sabar untuk melihat hasilnya. Begitu gemetarnya aku ketika hasil yang keluar menyatakan “Selamat Anda dinyatakan lulus di Unsyiah jurusan teknik kimia”. Spontan air mata ini tidak tertahankan lagi dan jatuh membasahi pipiku. Saat ini aku susah membedakan ini air mata kebahagiaan atau air mata kekecewaan. Seandainya aku diposisi orang yang sangat menginginkan kelulusan ini pasti aku menyambutnya dengan bahagia. Tapi, ini justru sebaliknya, biayalah sekarang yang ada dipikiranku. Darimana aku akan mendapatkan biaya itu?” Apakah orang tuaku akan mengizinkan aku untuk kuliah disana. Air mata ini tetap saja menetes begitu derasnya seakan hujan yang deras turun dari langit. Satu beban hadir dipikiranku, aku bingung untuk menjelaskan kepada orang tuaku bahwa aku harus mengambil kesempatan ini, Kepala ini terasa ingin meledak karena tidak sanggup memikirkannya. Kuraih handpone milikku dan segera aku meminta pendapat Agus sahabatku.
“Gus, gimana ni?”
“Ada apa Hel?”
“Oiya lulus Hel?”
“Itu masalahnya Gus, aku lulus!”
“Alhamdulillah lulus dimana Hel?”
“Teknik kimia Unsri Gus.”
“Bagus dong!”
“Itu dia masalahnya, aku gak tau orang tuaku bakalan kasih aku kuliah disana atau nggak.”
“Lho kok gitu??” Bukannya seharusnya senang??”
“Kalau dibilang senang, aku yakin jauh dilubuk hati orang tuaku pasti mereka senang dan bangga denganku tetapi, disisi lain mereka tidak punya biaya buat aku kuliah disana”.
“Kan Bidikmisi!!”
“Iya aku tau, tapi biaya pertama pasti dari kita juga kan?”Aku cukup tau ekonomi keluargaku gimana gus.”
“Ya uadah yakinkan aja orang tuamu Hel. “Jika orang tuamu ridha pasti Allah juga ridha dengan memudahkan segala urusannya.”
“Iya amiiinnn. “Makasih ya Gus sarannya.”
“Iya sama-sama Hel. “Agus lulus?”
“Tidak Hel, mungkin bukan rezekiku!”
“Sabar ya Gus, mungkin rezekimu di Polmed.”
“Amiiin, mudah-mudahan aja ya Hel.”
Ternyata yang lulus dari sekolahku hanya lima orang, tiga diantaranya lulus dengan bidikmisi dan dua lagi regular. Dengan kabar ini aku semakin yakin kalau ini adalah rezeki dari Allah yang harus aku ambil. Karena banyak orang yang menginginkan lulus tapi ternyata tidak lulus seperti Aisyah sahabatku, padahal dia selalu rangking satu sampai kelas XII. Mungkin ini belum rezekinya. keesokan harinya ku telfon orang tuaku, karena aku sudah tidak tinggal dengan meraka, mereka sudah pindah ke Medan dan aku sekarang ngekos dirumah sahabatku Yuni. Kebetulan hari ini semua abang-abangku pada ngumpul dirumah. Orang pertama yang ku dengar suaranya adalah Ibuku.
“Bu, aku lulus di Unsyiah Banda Aceh.”
“Lho, kok disana? “Bukannya kemaren bilang coba di Medan?”
“Iya, di Medan juga tapi, lulusnya disana Bu.”
“Jadi gimana tu Hel? “Ibu si setuju-setuju aja Rahel kuliah disana, tapi Rahel kan tau sendiri ekonomi keluarga kita gimana. Jangankan untuk biaya kuliah, untuk makan saja sulit. “Kalau Ibu bisa kerja, sudah pasti Ibu izinkan Rahel kuliah disana tapi kan yang mencari uang bukan Ibu.” Coba Tanya abang-abangmu, apakah mereka mau membantu?”
Mendengar perkataan Ibu barusan, rasanya hati ini hancur-sehancurnya, air mata ini tak berhenti menetes. “Kenapa aku yang justru benar-benar ingin sekolah dan menuntut ilmu sulit untuk melakukannya, sementara orang diluar sana banyak yang menghabiskan uangnya untuk hal-hal yang tidak penting.” Apakah ini cobaan anak orang tidak mampu untuk meraih kesuksesannya?” Sungguh berat jalan yang harus ku tempuh ya Allah. Air mata ini terus saja mengguyur pipiku yang tirus ini. Keesokan harinya aku pulang ke Medan untuk membicarakan semuanya secara langsung dengan keluargaku, Ibu menanyakan kembali keputusannku.
“Benar kamu jadi memilih kuliah di Unsyiah ketimbang di Polmed?”
“Bukan begitu Bu, kata guru Rahel di sekolah, Polmed belum menjamin kami lulus atau tidak, kalau memang sudah ada yang jelas didepan mata kenapa tidak diambil?” Dan setelah Rahel pikir-pikir ada benarnya yang dikatakan oleh Beliau, Begini bu, kalaulah seandainya Rahel lepaskan SNMPTN ini lalu menunggu hasil dari Polmed dan jika yang keluar Rahel tidak lulus gimana?” Berati Rahel sudah mengambil keputusan yang salah bukan?”Rahel tidak ingin menyesal seperti Bang Dicky bu, yang rela mengorbankan kesuksesannya demi membiayai kami.” Rahel juga ingin bisa mengangkat derajat Ayah dan Ibu. Agar orang-orang tidak ada yang bisa meremeh dan merendahkan kita lagi bu. Sudah cukup kepedihan yang telah kita jalani selama ini. Sekarang ridhai Rahel buat merubah nasib keluarga kita. Tanpa kusadari perkataanku tadi telah membuat Ibuku menangis, sungguh kali ini tekatku sudah bulat aku sangat ingin membahagiakan keluargaku terutama Ayah dan Ibuku yang telah membesarkan aku sampai sekarang ini. Bisa membelikan rumah impian Ibuku dan mengajak Ia jalan-jalan keluar negeri seperti impiannya.
Aku tak pernah hentinya melakukan qiyamulail setiap sepertiga malam, hanya Allah yang bisa membantuku saat ini. Kuceritakan seluruh keluh kesahku kepadaNya. Alhamdulillah, Allah memberikan jalan untukku melalui abang kandungku, Dialah yang membiayai aku untuk berangkat ke sana dan ikut mengantarkanku pergi kesana. Betapa senangnya hati ini, akhirnya pintu kesuksessan itu terbuka untukku. Hari pendaftaran ulangpun semakin dekat, dan lagi-lagi Allah memberikan pertolongan untukku dengan mengirimkan Kak Rizka sebagai orang yang akan menolongku di Banda Aceh. Kak Rizka ini adalah sahabat dari sepupuku bang Ari. Sabtu malam kami berangkat ke Banda Aceh, Ibuku yang tidak rela melihat kepergianku, kini Ia hanya bisa bersembunyi dikamar kecilnya.
“Bu, aku pergi dulu ya.”
“Iya , baik-baik ya disana, jaga diri baik-baik. “Ibu akan selalu mendoakanmu.”
“Rasanya hati ini seperti bom atom yang ingin meledak setelah mendengar perkataan Ibu tadi. Air matapun tidak sanggup menahan kepedihan ini, begitu besar beban yang harus kupikul sehingga aku bisa menjadi seorang yang pantas dibanggakan dan bisa membahagiakan kedua orang tuaku yang semasa hidupnya tidak pernah merasakan hidup senang. Lagi-lagi air mata ini jatuh dan aku berusahsa untuk menahannya agar Ibu tidak semakin sedih dengan keputusanku untuk kuliah disana. Sepanjang perjalanan air mata ini tidak berhenti menetes. Hanya Allahlah yang tau perasaanku saat ini.
Ternyata orang yang kutanyai selama ini adalah seorang yang cantik, tidak hanya cantik parasnya tetapi juga cantik akhlaknya. Disetiap jadwal-jadwalku ke kampus kak Rizka lah yang selalu mengantarkanku. Betapa mulianya hati Kak Rizka ini, semoga Allah senantiasa melindungi dan memudahkan segala urusannya serta melapangkan rezekinya, amiinn. Hari pertama kuliah rasanya terasa asing, gimana tidak, aku harus menyesuaikan diri untuk hidup disini. Setelah beberapa minggu kuliah, setelah uang persediaanku mulai menipis timbul rasa sedih di hati ini. Ditambah lagi aku belum bisa membayar uang kost, untung saja Bapak kost ku orang baik, Dia mengizinkan aku tinggal ditempatnya walaupun aku belum bisa membayarnya. Semakin hari hidup ini terasa semakin sulit. Belum masalah pelajaran yang munurutku susah ditambah aku harus memikirkan dari mana aku bisa mendapatkan uang sampai uang bidikmisiku keluar. Kakakku sudah berusaha membantu tapi tetap saja kurang, kini aku hanya punya Allah yang bisa membantuku saat ini. Beberapa bulan kemudian karena uang bidikmisiku belum juga keluar abangku yang selama ini membiayaiku mulai cemas. Sampai-sampai Dia tega mengatakan ini padaku
“Dek, kalau sampai bulan besok uang beasiswa adik tidak keluar adik harus pulang ya ke Medan, gak usah kuliah lagi.”
“Hatiku tersentak dan bibir ini tidak bisa bicara sedikitpun, rasanya ini tidak adil, apa coba maksudnya?” Mana mungkin aku bisa pulang begitu aja dengan semua yang udah aku lakuin disini.
Dari telfon terdengar suara Ibuku menyahut, “Apa-apan kau ini But, adiknya lagi kesusahan malah ngomong yang nggak-nggak, kasihanlah dia disana, udah susah malah kau tambah susah pulak dengan kau suruh pulang.”
“Mana bisa segampang itu untuk nyuruh pulang adikmu, memangnya kalau pulang gak pakai biaya?” bukannya dicarikan solusi, malah yang aneh-aneh. “Ya Allah betapa sedihnya aku kali ini, justru ini lebih sedih dari sebulum-sebelumnya. Aku yang udah berusaha sejauh ini, masak hn berhenti darus pulang gitu aja.
“Mbak, (terdengar suara ibu memanggil) memangnya kapan katanya uangnya keluar?“
“Katanya masih dalam proses Bu.”
“Ibu jangan berhenti doain aku terus ya.” (Karna tidak sanggup menahan tangis aku cepat-cepat memutuskan telfon dari Ibu). Malam ini rasanya aku ingin saja pulang, aku tidak ingin berada disini lagi terasa begitu berat beban yang harus kupikul. Tinggal dikampung orang tanpa ada siapa-siapa dan tidak ada uang sama sekali, orang tua gak bisa bantu sementara aku harus penuhi semua kebutuhan disini. Hari-hari yang kulalui disini semuanya tersa mimpi, mimpi yang sebenarnya nyata. Rasanya ingin sekali bangun dari mimpi buruk ini. Kalau bukan karena aku ingin sekolah, sudah pasti aku menyerah dari dulu. Tapi syukur saja aku masih punya majelis disini yang orang-orang didalamnya begitu baik akhlak-akhlaknya. Ku kirim pesan singkat ke Kak Mely. Iya, kak Mely adalah orang yang benar-benar aku kagumi, selain pintar dan cantik Kak Mely juga sangat baik.
“ Kak, besok malam Rahel boleh gak tidur dirumah kakak?” Ada yang mau Rahel certain sama kakak. Rahel gak tau harus cerita ke siapa lagi.”
“Oh, boleh Hel, besok malam kakak jemput ya?”
“Iya kak, makasih ya kak.”
Pagi ini, setelah sholat subuh berjama’ah aku dan Kak Mely sama-sama membaca Al-quran.
“Rahel mau cerita apa sama kakak?” ayola cerita, kakak siap dengerin.”
“Aku bingung harus mulai dari mana dulu, akhirnya aku jelasin semuanya tentang kenapa aku bisa kuliah disini dan apa yang tengah aku alami sekarang. Tentang yang aku yang disuruh pulang kalau sampai beasiswa itu tidak keluar juga bulan depan. Akhirnya Kak Mely mengatakan “Bilang sama abangnya Rahel, kalau Rahel gak bisa pulang, karena Rahel harus melanjutkan kuliah disini. Masalah biaya, biar untuk sementara sebelum uang beasiswa Rahel keluar kakak yang tanggung.”
“Udah ya Rahel jangan nangis lagi”. Tanpa disengaja aku sudah menangis aja di depan kak Mely. Alhamdulillah Kak Mely bisa menenangkan aku dan siap memberi bantuan jika aku membutuhkan bantuannya. Ternyata Allah selalu memberikan pertolongan melalu orang-orang yang diutusnya untuk orang-orang yang sabar dan tulus seperti aku. Alhamdulillah, sedikit demi sedikit beban ku kini telah berkurang. Maksih banyak ya Allah dan makasih buat ibu, ayah dan keluarga ku. Makasih buat Kak Mely yang telah mau membantu. Kini aku bisa fokus untuk kuliah saja dan siap meraih cita-cita yang sudah menanti didepan sana. Empat tahun sudah, kini aku sudah menyandang gelar Sarjana dibelakang namaku Rahel Arletta, S.T. Walau aku tidak lulus dengan kategori cumloude tetapi setidaknya aku bisa menyelesaikan study ku tepat empat tahun seperti jatah yang aku terima dari beasiswa bidikmisi. Ini semua berkat orang-orang hebat yang ada dibelakangku yang tiada henti-hentinya mendoakan aku sampai aku menjadi orang seperti saat sekarang ini. Kini targetku kedepannya adalah menunaikan impian Ibuku untuk membangunkan rumah impian untuknya.
Komentar
Posting Komentar